Hukum Membayar Zakat Fitrah Dengan Uang Berdasarkan 4 Mazhab
Bagaimana aturan membayar zakat fitrah dengan uang ? Urusan zakat fitrah ini ialah kajian yang sangat menarikdanunik diperbincangkan dan selalu menjadi tema pembahasan di sebagian kalangan serta meninggalkan perbedaan pendapat.

Sebagian melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat.

Permasalahannya kembali kepada status zakat fitrah. Status zakat fitrah itu, apakah termasuk kategori zakat tubuh atau zakat harta ? Jika statusnya sebagaimana zakat harta, maka mekanisme pembayarannya sebagaimana zakat harta perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang dibayarkan. Seperti halnya zakat perak dan emas, maka pembayaran zakatnya tidak mesti menggunakan perak atau emas, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.

Sebaliknya, kalau status zakat fitrah ini sebagaimana zakat tubuh maka mekanisme pembayarannya mengikuti mekanisme pembayaran kafarah (kifarat) untuk tiruana jenis pelanggaran. Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh tubuh inilah yang menjadi penyebab adanya kafarah, bukan kewajiban lantaran harta. Pembayaran kafarah harus menggunakan sesuatu yang sudah diputuskan, dan dihentikan menggunakan selain yang diputuskan.

Kewajibannya untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi, kalau seseorang membayar kafarah dengan selain ketentuan yang diputuskan. Misalnya, seseorang melaksanakan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bolong di bulan Ramadan, tanpa alasan yang dibenarkan. Maka kafarah untuk pelanggaran ini yakni membebaskan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memdiberi makan 60 orang fakir miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan.

Seseorang dihentikan membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, kalau dia tidak menemukan budak. Demikian pula, dia dihentikan berpuasa tiga bulan namun putus-putus. Juga, dihentikan memdiberi uang Rp. 5.000 kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan persis sebagaimana yang diputuskan.

Lalu apakah posisi zakat fitrah termasuk zakat harta atau zakat badan? Pendapat yang lebih tepat dalam problem ini yakni sebenarnya zakat fitrah itu mengikuti mekanisme kafarah lantaran zakat fitrah yakni zakat badan, bukan zakat harta. Zakat fitrah ialah zakat tubuh yakni pernyataan dari dalil yang ditunjukkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ  ِ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi pria dan perempuan, bagi belum dewasa dan orang cukup umur dari golongan muslimin. Beliau memerintahkan semoga zakat tersebut ditunaikan sebelum insan berangkat menuju shalat ‘ied.” 
(HR. Bukhari dan Muslim)

َوَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:  فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai pemmembersihkan bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berkhasiat dan kotor, dan sebagai kuliner bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum sholat, ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, ia menjadi sedekah biasa. 
(HR. Abu Daud)

Kedua riwayat dia atas sudah menyampaikan bahwasa zakat fitrah itu statusnya sebagai zakat tubuh dan bukan zakat maal. Berikut ini yakni beberapa alasannya:
  1. Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka yakni orang-orang yang umumnya tidak mempunyai harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya yakni milik tuannya. Tidak mungkin orang yang sama sekali tidak mempunyai harta diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya kalau zakat fitrah termasuk kewajiban lantaran harta.
  2. Zakat fitrah itu bermanfaa sebagai pemmembersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan atau ucapan jorok serta perbuatan yang menggugurkan pahala puasa. melaluiataubersamaini demikian adanya fungsi ini sudah mengisyaratkan bahwa zakat fitrah statusnya sebagai kafarah untuk belum sempurnanya puasa seseorang.

Ada dua konsekuensi aturan dikala status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
  1. Harus dibayarkan dengan sesuatu yang sudah diputuskan yaitu materi makanan.
  2. Harus didiberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. melaluiataubersamaini demikian, zakat fitrah dihentikan didiberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya.

Bagaimana aturan membayar zakat fitrah dengan uang Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Uang Menurut 4 Mazhab

Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitrah dengan uang

Pendapat ini ialah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Para ulama mengharuskan pembayaran zakat fitrah menggunakan materi kuliner pokok dan melarang menunaikan zakat fitrah dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini yakni Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Malahan, Imam Ahmad dan Imam Malik dengan tegasnya menganggap tidak sah kalau membayar zakat fitri mengunakan mata uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.

Imam Malik
Dalam Kitab Al-Mudawwanah Syahnun, berdasarkan Imam Malik, “Tidak sah kalau seseorang membayar zakat fitrah dengan mata uang apa pun. Bukan begitu yang diperintahkan Nabi.” Di dalam Kitab Ad-Din Al-Khash, berdasarkan Imam Malik, “Wajib menunaikan zakat fitrah senilai satu sha’ materi kuliner yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat fitrah).”

Imam Asy-Syafi’i
Dalam Ad-Din Al-Khash, berdasarkan Imam Asy-Syafi’i, “Penunaikan zakat fitrah wajib dalam bentuk satu sha’ dari umumnya materi kuliner di negeri tersebut pada tahun tersebut.”

Imam Ahmad
Al-Khiraqi mengatakan, “Siapa saja yang melaksanakan zakat fitrah menggunakan mata uang, maka zakatnya tidaklah sah.”  Abu Daud mengatakan, “Imam Ahmad ditanya wacana pembayaran zakat mengunakan dirham. Imam Ahmad pun menjawaban, “Aku khawatir zakatnya itu tak diterima disebabkan lantaran menyelisihi sunah Rasulullah.” Demikian menyerupai yang dinukil dalam Al-Mughni.

Dinukil dari Al-Mughni, dari Abu Thalib, sebenarnya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh mempersembahkan zakat fitrah dengan nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menunaikan zakat fitrah dengan menggunakan uang.” Semenara Imam Ahmad menjadi murka atas itu sambil berkata, “Mereka meninggalkan hadits Nabi dan beropini dengan perkataan Fulan. Padahal menyerupai yang sudah dikemukakan dalam hadits, Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada sebagian orang yang ingkar sunah dan berkata, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.”

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah 
Dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan materi kuliner sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah  dengan materi makanan.”

Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i
Penulis kitab Kifayatul Akhyar ini mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam problem ini.”

An-Nawawi
Beliau mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur beropini bahwa dihentikan membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.”  An-Nawawi menyampaikan lagi, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang berdasarkan mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” Demikian menyerupai yang ditulis dalam Kitab Al-Majmu’.

Asy-Syairazi Asy-Syafi’i 
Dalam Al-Majmu', dia mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat lantaran kebenaran yakni milik Allah. Allah sudah mengkaitkan zakat sebagaimana yang sudah Allah tegaskan di dalam Al Quran, sehingga tidakboleh mengganti hal itu dengan selainnya. sepertiyang berkurban, dikala Allah kaitkan hal ini dengan hewan ternak, maka dihentikan menggantinya dengan selain hewan ternak.”

Ibnu Hazm
Dalam Al-Muhalla bi Al-Atsar, dia mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, dihentikan mengeluarkan satu sha’ gabungan dari beberapa materi makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah sama sekali membayar zakat fitrah dengan nilai seharga uang lantaran tiruana itu tidak diajarkan Rasulullah.”

Asy-Syaukani
Dalam As-Sailul Jarar, Asy Syaukani beropini bahwa dihentikan menggunakan mata uang kecuali kalau tidak memungkinkan membayar zakat dengan materi makanan.”

Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi
Mereka menyampaikan bahwa zakat fitri dihentikan dibayarkan dengan selain kuliner dan dihentikan menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat, lantaran tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti materi kuliner dengan mata uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sobat bersahabat bahwa mereka membayar zakat fitri dengan mata uang. Silahkan lihat kitab Minhajul Muslim, halaman 251.

Dalil yang menegaskan bahwa zakat fitrah harus dengan materi makanan

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami menyerahkan zakat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sho’ makanan, satu sho’ kurma, satu sho’ gandum, atau satu sho’ anggur (kering).” 
(HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang

Pendapat yang kedua berdasarkan sebagian kecil perkataan ulama.  Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’dan Umar bin Abdul Aziz yakni ulama-ulama yang beropini demikian.

Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri, bahwa dia mengatakan, “Tidak mengapa mempersembahkan zakat fitrah dengan dirham.” Diriwayatkan dari Abu Ishaq; dia mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat bulan pahala dengan beberapa dirham yang senilai materi makanan.” Diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabah, bahwa dia menunaikan zakat fitri dengan waraq (dirham dari perak).

Sebagian ulama menegaskan bahwa pendapat ke dua ini tidak mempunyai dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sobat dekat) dalam problem ini. Mereka menggunakan Istihsan (menganggap lebih baik). Para pendukung pendapat ini beranggapan bahwa mata uang itu lebih bermanfaa dan lebih baik bagi orang miskin daripada materi makanan.

Kalau Saya sendiri lebih cenderung pada pendapat pertama, dominan para ulama, yakni zakat fitrah dengan materi kuliner pokok, dalam hal ini di Indonesia yakni beras. Mungkin ada yang beropini bahwa pendapat yang dominan belum tentu benar. Jawaban Saya adalah, kalau yang dominan belum tentu benar, apalagi yang minoritas.

Namun lantaran tiap orang punya pendapat masing-masing dan punya dalil masing-masing termasuk Saya sudah mengutarakan dalil dan alasan kenapa Saya lebih mengikuti pendapat yang pertama, maka tentu Saya menghormati mereka yang mengikuti pendapat ke dua, keduanya tidak salah, lantaran yang salah berdasarkan Saya yakni yang ingkar melaksanakan zakat fitrah.

Pernah Saya aktif di cowok mesjid di salah satu wilayah di Kota Bandung. Pada waktu pemungutan zakat fitrah, panitia mendapatkan zakat fitrah dalam 2 versi, jadi sanggup mendapatkan uang dan juga sanggup mendapatkan beras. Bahkan panitia juga menyiapkan beras yang akan dijual bagi mereka yang membutuhkan dan ingin berinfak dengan beras.

Semoga kita umat Islam tetap bersatu di tengah kemajemukan bermacam-macam cara dalam diberibadah. Selama masih dalam satu syahadat, kita yakni saudara, kesampingkan perbedaan dalam problem furu'iyyah.

LihatTutupKomentar